Rabu, 22 Mei 2013

NIAT UMROH ATAU HAJI?

Sebuah pertanyaan klise dari jamaah yang selalu menghiasi setiap pembimbingan haji di regu-regu. Jawabannya? (1)- Dalam hiruk pikuknya kegiatan manasik-haji, pernah terjadi sebuah ‘ANEKDOT’ yang menggelikan. Berujud penggunaan kata oleh seorang nara-sumber, yang menjadi sasaran kritik nara-sumber lain. Sebenarnya perbedaan pendapat itu hanya di seputar pembedaan arti ‘terminologi’ (arti istilah) yang berhadapan dengan arti ‘semantik’ (arti kata). Dalam pembedaan ini, orang seharusnya memahami sesuai kaidah ilmu-bahasa. (2)- Di hadapan peserta manasik, seorang pelatih itu menegaskan “Hanya dalam ibadah Haji serta Umrah saja, maka di situ mengharuskan hukum wajibnya niat-dilafadzkan” Dari dua-kata terakhir inilah ‘niat dilafadzkan’ sumber persoalannya. Tentulah pelatih itu merasa aman dan nyaman mengucapkan dua kata tersebut. Munculnya persoalan, karena seorang pelatih lain yang kritis, mendadak menyampaikan kritiknya. Kritiknya yaitu : Pak, sebenarnya arti dari kata-kata ‘niat dilafadzkan’ itu tidak lain ya ‘nawaitu’ Jadi kalau orang berkata niat-dilafadzkan itu artinya tidak lain ya nawaitu (aku berniat). (3)- Kemudian ahlul-adli, itu menengahi dengan katanya : “Sesuatu kata yang ternyata sudah menjadi istilah umum, maka kata itu jangan lagi diberi pemaknaan ke arti-kata. Jangan ada orang memberi makna terhadap kalimat ‘Dia sudah di atas bus’ dengan arti, bus-nya disini dan orang ada di atasnya (di atas bus itu). Karena kata-kata ‘di atas bus’ itu sudah menjadi istilah (terminology), yang artinya sudah umum difahami, yaitu dia sudah naik bus. Jangan lagi diartikan secara semantik (arti-kata). Yaitu bahwa kata ‘dia di atas bus’ berarti busnya di bawah sedang orangnya di atas (ini namanya arti-kata).  Bahwa kata-kata itu tidak selalu harus diberi makna ‘semantik’ bisa juga ‘term ’.(4)- Bahwa makna kata-kata ‘niat dilafadzkan’ dalam bahasa Indonesia, yaitu : Bahwa niat itu diucapkan, tidak cukup di dalam bathin. Atau kalau di bahasa Arabkan, bahwa niat itu dilafadzkan. Jadi ‘diucapkan’ itu sama artinya dengan ‘dilafadzkan’ itu identik. Contoh lain: Qur’an itu lafdzan dan ma’nan adalah dari Allah SWT. ini bisa diartikan, bahwa Qur’an itu secara ucapan/perkataan dan makna adalah dari Allah SWT. Sudah jelas kiranya, bahwa melafadzkan Qur’an berarti mengucapkan atau membaca secara lisan terhadap Qur’an. Contoh lain lagi : Begitu pula ‘melafadzkan-niat’ artinya cukup jelas, yaitu mengucapkan atau memperkatakan secara lisan atas niat yang dalam hati. Jangan bahkan ragu, melafadzkan niat, itu tidak lain adalah mengucapkan (lisan) niat. (5)- Jangan malahan dibingungkan untuk mengganti kata ‘melafadzkan’ yang artinya ‘mengucapkan’ itu dengan kata-kata lainnya yang kurang pas. Bahkan saking bingung- nya orang menggantinya dengan kata ‘menjatuhkan’. Dus kata-kata ‘melafadzkan-niat’ diganti dengan ‘menjatuhkan-niat’. Ini dikawatirkan hal ini akan difahami orang secara semantik pula, yaitu niat-dijatuhkan dari atas ke bawah, sehingga akan menjadi babak-belur jadinya. Diingatkan, agar hendaknya orang lebih luwes dalam bersikap ‘akulah yang benar’ Bahwa diluar individu kita ternyata masih ada yang lainnya ‘kebersamaan’. (HM ASRORI MA'RUF).


 

Senin, 20 Mei 2013

BIMBINGAN PENULISAN FORMULIR PASPOR

KBIH Aisyiyah DIY perwakilan Bantul menggelar pembimbingan pengisian formulir permohonan paspor bagi jamaah haji binaannya tahun 2013. Pembimbingan yang dilaksanakan pada 19 Mei 2013, jam 10.00 di Masjid AR Fachruddin SMA Muhiba Bantul diikuti oleh jamaah calon haji berjumlah 244 orang. Kegiatan dipandu oleh Drs. H. Suwandi DS. Pembimbingan ini dimaksudkan untuk (1) mentaati peraturan perundangan yang berlaku. Dalam permohonan paspor khususnya untuk jamaah haji, dilalui serangkaian proses yang dilalui, penulisan formulir, pengumpulan berkas ke kemenag, pengajuan ke kantor imigrasi. (2) memandirikan jamaah dalam hal mengisi formulir paspor. Jamaah menulis Identitas stopmap, mengisi formulir pengantar dari Kemenag, menulis formulir dari keimigrasian secara individu. Selanjutnya, jamaah melengkapi dengan berkas dengan foto kopi KTP, foto kopi KK, foto kopi ijazah/akta lahir/akta nikah.

Minggu, 19 Mei 2013

WANITA IHROM KEDATANGAN HAID?

Salah satu qodrat wanita adalah kedatangan haid. Kotoran dari dalam tubuh keluar berupa darah. Hal tersebut mengakibatkan tidak suci dan berhalangan untuk melaksanakan ibadah mahdzoh. Bagaimana jika si si wanita tersebut sedang melaksanakan ibadah haji? Bukankah ketika umroh di masjid Al Haram, jamaah harus suci? Pembahasannya adalah sebagai berikut: PERTAMA, khusus bagi para wanita sewaktu tiba di Mekah pertama-kali, padahal sedang ihram-umrah namun kedatangan haid. Tentu tidak bisa mengerjakan thawaf-rukun umrah (thawaf-qudum) dengan sa’I, seperti halnya rekan-rekan yang lain. Dalam kondisi  seperti ini jangan kuatir nanti akan dibimbing khusus. KEDUA, kalau semua jama’ah laki-laki dan wanita yang tidak terkena haid diajak serta ke Masjidil-Haram untuk thawaf dan sa’i; maka bagi wanita yang haid hendaklah tetap berada dalam pondokan / maktab. Dengan Catatan: Tetap mengenakan pakaian ihramnya.Tidak boleh melepaskannya, karena haid-wanita itu tidak membatalkan ihramnya (hanya tidak boleh thawaf). Tetaplah dalam kondisi berihram, kecuali kepentingan ke kamar mandi dan toilet. KETIGA, Keadaan seperti itu, harus dipertahankan hingga terhenti haidnya / suci. Kalau sudah terhenti haidnya, kemudian hendaklah mandi-besar, diikuti wudlu dan tetap berpakaian ihram sekeluarnya dari kamar mandi. Dalam kondisi sudah suci ini, maka kewajiban sholat fardlu tetap dijalankan kembali seperti biasanya. Di samping itu, juga sudah siap setiap saat untuk dibimbing dalam menyelesaikan proses umrahnya yaitu untuk thawaf dan sa’i. KEEMPAT, ketua-regu dan atau ketua-rombongan segera akan melaporkan anggotanya yang belum menyelesaikan umrah dan sa’i ini kepada Tim-Pembimbing BIH Aisyiyah. Setelah dijadwalkan saat untuk thawaf dan sa’i, secara bersama-sama ( berapapun yang ada ) pembimbing akan mendampinginya. Mereka akan menuju Masjidil Haram guna menyelesaikan umrah mereka. KELIMA, dengan didampingi pembimbing, bersama-sama menuju ke Masjid Haram ; dimulai dengan thawaf. CATATAN : Dalam keadaan seperti ini Pembimbing  berniat thawaf-sunnat, sebab pembimbing telah mengerjakan thawaf rukun-umrah atau qudum. Sementara itu jama’ah meneruskannya menyelesaikan ibadah sa’i, tanpa disertai pembimbing ( karena thawaf sunnatnya ) ; sedangkan jama’ah melakukan thawaf-rukun umrah/qudum dengan sa’i. Jika semua sudah selesai  dengan tahallulnya, maka kemudian pulang kembali ke pondokan.  Selamat bermukim di Mekah dengan memperbanyak sholat-fardhu dan thawaf-sunnat dlm Masjidil Haram. Sambil menunggu tanggal 8 Dzulhijjah. CATATAN : Utk. Haji Gelombang I. (HM. Asrori Ma'ruf).

Jumat, 17 Mei 2013

JATI DIRI MUHAMMADIYAH?

Hidup berMuhammadiyah adalah pilihan yang harus dilaksanakan untuk mencari ridho Alloh SWT.  Banyak karakteristik yang menjadi pembeda antara Muhammadiyah dengan yang lainnya.
AN NAAHIYAH AR RUUHIYYAH
(1) Menjaga tajriid fit tauhid, karena inti dalam hidup ini adalah tauhid. Banyak orang  sudah ber-Islam, namun tetap masih dalam “pencarian” jika belum menemukan inti tauhid.  
(2) Memiliki komitment tajriid fil aqidah. Pegangan hati ini bisa dibebaskan dari beragam hal yang mengotorinya, al : takhayyul, khurafat, klenik, pedukunan ; semua merusak iman. 
(3) Memelihara takhlis fil ibadah.Muhammadiyah adalah wadah yang pas untuk mengamal- kan ibadah dalam Islam secara murni; terlepas dari berbagai sikap dan amalan yang bid’ah.
(4) Membersihkan amalan-keduniawian dari sifat dan sikap : riya’, sum’ah, takabbur, ‘ujub; membebaskan beramal karena figur demi menuju kepada semangat beramal secara ikhlas. 
(5) Membebaskan diri dari kultus individu, dengan menegakkan nilai-nilai Islam universal ; antara lain: keadilan ( al-‘adalah ), persamaan ( al-musaawah ), musyawarah ( asy-syuro ). 
AN-NAAHIYAH AL-MAADIYYAH 
(1) Umur panjang Muhammadiyah membuktikan, bahwa Muhammadiyah telah teruji oleh sejarah. Berbagai kondisi / situasi dan gejolak zaman telah dilalui dengan mulus & selamat (2)- Banyaknya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) bidang Pendidikan, Kesehatan, sosial dan dakwah ; satu bukti bahwa Muhammadiyah dipercaya oleh umat dan rakyat Indonesia. 
(3)- Amal Usaha Muhammadiyah yang tumbuh, berkembang, maju serta mampu mencapai tingkat kematangan ( maturity ) bersifat buttom up itulah bukti bahwa Muhammadiyah telah sukses membangun pemberdayaan masyarakat, berazaskan Islam yang berkemajuan  
(4)- Dukungan umat serta masyarakat kepada AUM Muhammadiyah, membuktikan bahwa Muhammadiyah berhasil membumikan Islam dari langit secara kompatibel, pas mur & baut 
(5)- Banyaknya AUM di bidang Pendidikan, itu membuktikan bahwa Muhammadiyah punya konsistensi dalam langkah-geraknya dan berkomitment dalam cita-perjuangannya disertai keyakinan tinggi. Bahwa peradaban dan kebudayaan hanya bisa diwariskan pada generasi bangsa melalui bidang pendidikan itu. Pikiran besar Muhammadiyah ini menuju aksi yang besar pula. Cita cita Muhammadiyah yang besar terus digarap ever on world never retreat. 
(6)- Banyaknya Harta Wakaf yang ditangani Muhammadiyah itu menjadi pembuktian bahwa Muhammadiyah diyakini amanah-kejujuran nya oleh umat dan masyarakat. Yang dimaksud adalah kejujuran dalam menjaga, memelihara, mengembangkan dan mendaya-gunakannya 
(7)- Semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah baik : universitas, institut, akademi, pendidikan tinggi, politeknik,  dan lain lain ; semuanya membuktikan bahwa Muhammadiyah menyadari telah menampilkan dirinya dalam sosok tampilan Islam Berkemajuan. Berhidmat untuk mencetak kader-kader bangsa yang mampu memiliki IMTAQ berkualitas, membawa missi Islam yang hadloroh-taqoddum di depannya.   
(8)- Karakter Ke-Islam dan Ke-Indonesiaan Muhammadiyah sudah mendarah mendaging pada kadernya. Setiap ada usaha pihak ideologi lain yang berkeinginan untuk “menerpa” ideologi Muhammadiyah selalu mentok. Betapa pentingnya kapital-karakter ini bagi kader. (9)- Muhammadiyah itu satu-satunya yang terbesar di dunia. Muhammadiyah is the largest modern Islamic Organization in the World. Begitulah penegasan seorang tokoh Prof. Dr. Liddle dari OHIO State University. Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern terbesar di dunia. Only Muhammadiyah nothing else. Hanya Muhammadiyah tok dan tidak yang lain. (HM. Asrori Ma'ruf)

Rabu, 15 Mei 2013

PRINSIP-PRINSIP IBADAH

Pekerjaan/amalan yang baik itu belum tentu ibadah. Amalan itu harus memenuhi syarat untuk masuk dalam amalan ibadah.
IBADAH secara khusus diberi arti: Tatacara hubungan hamba dengan Alloh SWT atau upaya TAQORRUB (pendekatan diri) hamba kepada Allah; dengan mentaati segala perintahNya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Dengan prinsip: (1). Al-Ashlu fil Ibaadati al Buthlaan hatta Yaquuma daliilum alal Amri  yang bermaksud pada dasarnya semua ibadah itu dibatalkan (dilarang) kecuali hadirnya dalil yang memerintah (2). Al-Ashlu fil Ibaadati al-Itbaa’ wal Ikhlash yang artinya  pada dasarnya semua bentuk ibadah itu (tinggal tunduk) mengikuti dan ikhlas (dalam mengikuti perintah) dari Allah. (3). Al-Ashlu fil Ibaadati at Tauqiifi wal Itbaa’ yang berarti pada dasarnya ibadah itu (haruslah dengan) mendirikan/melaksanakan dan mengikuti ( perintah-syariat dari Allah). (4). Wal Ibaadatul Khaashshah Hiya Maa Haddadahus Syaari’u fiiha bi Juz’iyyaatin wa Haiaatin wa Kaifiyyaatin Makhshushoh yang bermakna Ibadah khusus yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ prihal : bagian-bagiannya, tingkah dan cara-caranya. (5). Wal Ibaadatul ‘Aammah Hiya Kullu Amalin Adzina bihis Syaari’u yang artinya Dan ibadah umum itu ialah segala amalan yang diizinkan oleh hukum syara’ dari Allah SWT.  
Faham Islam Manhajiy = Yaitu faham Islam yang dalam penetapan faham cara berfikir, bersikap dan berbuat ( lebih-lebih dalam pengamalan agama ) selalu merujuk dan mengutamakan manhaj ( jalan-terang yang ditunjuki oleh dalil-dalil ) yang nyata dari hukum syari’ah. Seperti faham Islam menurut Muhammadiyah.
Faham Islam Mazhabiy merupakan faham Islam yang dalam penetapan faham cara berfikir, bersikap dan berbuat ( juga dalam pengamalan agama ) selalu merujuk dan mengutamakan mazhab ( bingkai faham dari kelompok mazhabnya ). Seperti banyak contoh dari faham-faham Islam yang menganut faham-mazhabnya tertentu.
Ranah-Ta’abbudiy yaitu wilayah “ibadah” misalnya: Tanggal 1 Ramadlan, kita harus berpuasa, itu wilayah ibadah. Semua umat Islam bersikap-sepakat dan berperilaku sama dalam menunaikan kewajiban ibadah puasa pada 1 Ramadlan ini. Namun cara penentuan 1 Ramadlan (dan penentuan awal-awal bulan Qoamriyah lainnya), baik dengan cara hisab atau rukyat, itu adalah wilayah Ijtihad-Ta’aaqquli.
Ranah-Ta’aqquliy yaitu wilayah  “nalar atau akal-pikiran” Misalnya:  Dalam tayammum, tapak-tangan setelah diusapkan ke permukaan yang berdebu lalu ditiup itu wilayah-ta’abbudiy. Kalau orang tidak meniupnya, dengan alasan tapak-tangan tidak berlumuran debu, maka itu wilayah-ta’aqquliy, sebab beraroma rekayasa akal. (HM. Asrori Ma'ruf).

  

Minggu, 12 Mei 2013

MENGKRITISI UMRAH SUNAT / UMRAH MAKIYAH

Umrah sunnat /Makiyah merupakan topik pembicaraan yang up to date dari satu musim haji ke musim haji berikutnya.Yang dimaksud Umrah-Makiyah di sini ialah: Umrah yang dilakukan oleh para calon-haji maupun para haji selama diam di Mekah setelah umrah-wajib. Baikpun dilakukan menjelang atau setelah ibadah haji, baik dilakukan satu-kali, dua-kali atau bahkan berkali-kali. Orang sering menyebutnya dengan istilah Umrah-Sunnat. Disebut dengan “Makiyah” sebab dilakukan orang selagi tinggal di kota Mekah, dengan keluar-masuk kota Mekah mengambil miqot umumnya di masjid Tan’im. Kalau dilakukan menjelang ibadah haji, artinya umrah Makiyah itu dilakukan oleh Jama’ah Gelombang I, yang masa tinggal di Mekah cukup waktu sambil menanti pelaksanaan ibadah haji. Kalau dilakukan setelah ibadah haji, itu artinya umrah Makiyah dilakukan oleh Jama’ah Gelombang II, yang masa tinggalnya di Mekah cukup waktu setelah pelaksanaan ibadah haji, yang diteruskan ziarah Masjid Nabi. Ada yang melakukan umrah Makiyah itu satu-kali saja, ada yang dua-kali, namun ada yang bahkan berkali-kali ; pada umumnya mereka menyebutnya umrah-sunnat

SEBUAH ANEKDOT
Dalam masa menunggu kepulangan ke tanah air, ada peluang waktu beberapa hari di Mekah. Waktu luang ini oleh warga jama’ah KBIH ‘Aisyiyah lebih dimanfaatkan untuk rajin ber-thowaf sunnat. Sedang bagi jama’ah tertentu sering dimanfaatkan untuk melakukan umrah-Tan’im ( umrah-Makiyah= umrah-sunat ). Dalam kondisi beda kegiatan ini, muncul sebuah ungkapan : “ Dalam mengisi luang waktu begini, orang belanja ke pasar pun dibolehkan kok, mengapa umrah-Makiyah tidak boleh ; lalu mana dalil yang melarang ?” Tentu saja bagi sebagian warga jama’ah ‘Aisyiyah mendengar ungkapan kalimat tersebut, menjadi bingung. Namun serta-merta ada seorang warga jama’ah yang mampu mengklarifikasi dengan komentar singkat dan lalu balik bertanya. Dia berkomentar : “ Dalam ibadah-mahdloh (termasuk umrah-Tan’im) yang pokok diperlukan adalah dalil yang memerintahkan, dan justru tidak memerlukan adanya dalil yang melarang. Kemudian sekarang manakah dalil yang memerintahkan itu ?”  Sebenarnya dalam perbedaan tersebut sedang berhadapan dua-corak faham, yaitu corak faham-Mazhabiy dan corak faham-Manhajiy. Hal ini yang mengilhami persoalan ini dibahas dan ditulis dalam kajian singkat rubrik kita.  
KASUS SITI ‘AISYAH R.A.
Pada umumnya yang menjadi landasan-dasar amalan umrah-Makiyah itu, adalah kasus umrahnya Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar. Pada malam keberangkatan jelang meninggalkan kota Mekah pulang ke Medinah, disebut malam-Muhassob. Malam itu atas suruhan Nabi SAW juga, maka Siti ‘Aisyah diantar oleh kakak kandungnya Abdurrahman bin Abu Bakar untuk  keluar Mekah menuju Tan’im lalu berihrom dari sana. Umrah-Tan’im ini dilakukan oleh Siti ‘Aisyah, karena dia merasa tidak puas disebabkan dia tidak melakukan Tawaf sewaktu tiba di Mekah karena sedang haid. Atas dasar kasus Siti ‘Aisyah inilah, sebagian orang ada yang menganjurkan mengerjakan Umrah-Makiyah sebanyak-banyaknya, sebagai amalan umrah-sunnat Justru karena umrah-Tan’im ini kasuistik (kasus khusus bagi Siti ‘Aisyah), terbukti pula bahwa Nabi SAW tidak pernah menganjurkannya kepada para sahabat beliau. Sebab dapat diyakini, bahwa jika amalan umrah itu masyru’ dan baik, tentu Nabi SAW. akan menganjurkannya kepada para sahabat beliau ; maka kemudian para sahabat beliau pun akan berlomba-lomba melakukannya baik sesudah atau sebelum haji. Dari Nabi SAW tidak pernah ditemukan riwayat berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir ( ketetapan) tentang umrah-Makiyah ini. Kelanjutan pertanyaannya adalah : Bisakah ibadah-makhdoh ( khusus ) itu menggunakan dasar-landasan dari luar hukum syari’at-wahyu, artinya yang bukan dari  Qur’an maupun Hadits Nabi?    Bisakah ibadah umrah-makiyah itu mendasarkan kepada titah ucapan Qoul Ulama?  
MENYIKAPI UMRAH-MAKIYAH
Menilik beberapa hadits yang memberitakan tentang umrah yang dilakukan Nabi SAW. bahwa beliau melakukan umrah sebanyak 4 kali, masing-masing dalam tahun yang berbeda. Yaitu tahun keenam (perjanjian Hudaibiyah), tahun ketujuh (umrah qadla), tahun kedelapan (pembukaan kota Mekah), serta tahun kesepuluh (umrah beserta hajinya). Ternyata hanya pada setiap saat berkunjung ke Mekah saja, maka beliau melakukan ibadah umrah itu. Artinya antara umrah satu ke umrah yang lain itu, beliau melakukan pada tahun yang berbeda. Dan tidak tercatat dalam sejarah hidup beliau, bahwa selama berada di Mekah, beliau melakukan umrah berulang-ulang. Kalau umum memahami, bahwa umrah-wajib itu hanya sekali seumur hidup sedang selebihnya adalah sunnat. Maka tentulah tindakan Nabi SAW melakukan umrah lebih dari satu kali itu adalah, juga demikian halnya. Namun orang boleh saja membedakan antara : bagi mukmin biasa sunat, sedangkan bagi Nabi  SAW adalah SUNAH ( dengan huruf kapital ). Karena Muhammadiyah berposisi sebagai faham-Manhajiy, maka keberadaan dalil-dalil yang mendasari ibadah-makhdoh, (seperti umrah-Makiyah) haruslah nyata adanya dan penting fungsinya. Beberapa kaidah ushul-fiqh memang harus dipegangi : 1). Al-Ashlu fil Ibaadati Al-Buthlaan, hatta yaquuma daliilun alal Amri = Pada dasarnya semua bentuk ibadah itu adalah dibatalkan, kecuali adanya dalil yang memerintahkan. Tegasnya, orang melakukan sesuatu ibadah-mahdloh, mesti ada dasar perintah hukum syariat  2). Al-Ashlu fil Ibaadati Al-Itba’ wal Ikhlaash= Pada dasarnya dalam ibadah itu taat-ikuti (perintah) dan (dikerjakan secara) ikhlas. Bahwa apapun yang bernama ibadah, orang tinggal mengikuti dan mengerjakan dengan ikhlas karena Alloh SWT. 3). Al-Ashlu fil Ibaadati al-Tauqiifi wal Itba’ = Pada dasarnya dalam ibadah itu haruslah ditegakkan ( dilakukan ) serta diikuti ( sesuai perintahnya ), apalagi katagori ibadah-mahdloh. Ibadah baru menjadi ibadah, jika memang benar-benar ditegakkan dan dilakukan serta diteladani sesuai dengan perintah. Didasari ikhlas menerima seperti adanya, tanpa menambah dan mengurangi, apalagi membuat ritual ibadah yang tambahan.      
Akan sangat berbeda halnya dengan Faham-Mazhabiy (pengikut mazhab), tentu lebih mengutamakan pola faham yang senada dan seirama dengan mazhab yang dianutnya, dan tidak keluar dari bingkai mazhabnya. Bisa saja pendapat ini akan berbeda dengan faham-Manhajiy. Namun perbedaan ini wajar, inilah yang disebut perbedaan dalam katagori khilafiyah. Pada faham-Mazhabiy (pengikut mazhab), jika ternyata tidak didapatkan dalil alasan-dasar umrah-Makiyah di dalam Qur’an maupun Hadits, bisa saja akan merujuk kepada kitab-ulama (qoul-ulama) menjadi dasar rujukannya ; disini sumber hukum syari’atnya tentu qoul-ulama. Perbedaan dalam khilafiyah ( lebih tepat ikhtilafiyyah ) ini, semua pihak telah bersama sepakat mengakomodasi. Dalam arti, masing-masing pihak bisa berdiri dan beramal pada posisinya sendiri sambil menghormat pihak lain yang berbeda. Wallohu A’lamu bis Showab. (HM. ASRORI MA'RUF).


 

Jumat, 10 Mei 2013

MATAN KEYAKINAN DAN CITA-CITA HIDUP MUHAMMADIYAH

Matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah bisa dikatakan sebagai tujuan akhir pencarian dalam hidup seorang mukmin.
(1)- TAJRIID FIL AQIDAH yaitu murni dalam ber-aqidah. Aqidah Muhammadiyah adalah aqidah-tauhid. Sehingga memelihara tajriid fit tauhiid adalah ruh utama Muhammadiyah itu Tauhid sebagai tambatan hati yang terjaga kemurniannya, akan mampu meng-elaborasi energy dari dalam diri manusia dalam bentuk potensi yang utuh. Sedangkan tauhid yang telah terkontaminasi dengan kepercayaan yang kotor, akan melahirkan potensi yang rapuh Orang yang ber-Islam namun belum mencapai titik kemurnian tauhid ( god-spot ), maka dia masih hidup dalam pencarian. Berkelana dalam pencarian sepanjang hidup, belum dan tak akan berakhir, sebelum menemukan titik-kemurnian tauhid itu. Banyak contoh yang dapat diambil i’tibar. Ulama besar yang sudah menguasai berbagai kitab agama dan bahkan telah memiliki banyak murid-santri, sehingga memiliki karisma tersendiri dalam komunitasnya. Namun akhirnya semua predikat keduniawian tersebut ditanggalkan dan ditinggalkan saja, begitu dia menemukan titik kemurnian-tauhid ( god-spot ). Yang akhirnya perjalanan ulama besar itupun berbalik arah untuk menuju titik kemurnian-tauhid yang selama ini dicarinya. 
(2)- TAKHLISH FIL IBADAH yaitu meng-ikhlaskan diri dalam ibadah. Artinya, ikhlas dan rela menjadi hamba Alloh. Dalam ritual-upacara ibadah hanya mengikuti tata-cara dan tata-laku   yang dituntunkan oleh Alloh SWT dan Rasul-Nya, apalagi ibadah-mahdloh. Ikhlas dimaknai juga, dalam menyembah kepada Alloh ( seperti dalam amalan sholat dll ), tidak disertai tata laku syirik kepada-Nya. Singkatnya tata-laku, hai’at dan bagian-bagian ibadah-mahdloh itu semua sudah ditetapkan oleh Alloh dan Rasul-Nya ; dengan demikian manusia tidak punya kewenangan menambah-nambahkannya. Suatu yang riskan akan terjerumus kepada bid’ah Jadi semua jenis sholat, puasa, haji dan yang lain ; pada dasarnya sudah ada ketentuan- nya dalam Kitabulloh dan Sunnaturrasul. ( Ibadah-mahdloh yang berdasar ajaran manusia, apapun bentuknya ditolak ). Pada dasarnya ibadah itu ikhlas dan mengikut petunjuk wahyu.    
(3)- TAHSIIN FIL AKHLAQ yaitu memperindah akhlaq dan budi-pekertinya. Akhlaq adalah merupakan faktor yang mampu memperindah tampilan diri, lahir dan batin. Orangnya akan tampil mempesona karena memiliki inner-energy positif. Mempesona di dalam hubungan vertikal maupun horizontal. Kalau akhlaq Nabi SAW adalah Qur’an, maka beliau itu dengan Qur’an adalah satu-menyatu. Bahwa Qur’an yang disikapi sebagai tempat diskursus, akan mampu membimbing sikap dan perilaku hidup orang itu. Sebaliknya kalau Qur’an hanya diperlakukan sebagai text-reading tentu tidak bakal meninggalkan bekas pada sikap dan perilaku hidup orang itu. Bisa saja seorang yang hafal-Qur’an selagi menjabat menteripun, bisa berbuat korup. Tragisnya, kementerian-kementerian yang dipimpin oleh orang-orang yang “lahirnya” dekat dengan Qur’an, justru oleh KPK dinilai sebagai kementerian yang paling korup. Masya Alloh, itu lho contoh kementerian tenaga-kerja dan kementerian agama. 
(4)- TAJDIID FIL MU’AMALAH yaitu selalu memperbaharui dan membuat inovasi-inovasi baru terhadap aspek mu’amalah-dunyawiyyah. Kalau Nabi SAW menyerahkan aspek dunia ini kepada umatnya “antum a’lamu bi umuuri dunyaakum”. Disini berarti manusia boleh mengembangkan ranah budaya atau kultur dari bangsa-bangsa ini sesuai dengan kondisi setempat. Pribadi Nabi SAW ada 3 elemen, yaitu : basyariyah / kemanusiaan, arobiyyah / ke-Araban dan nubuwwah / kenabian. Sifat “Arab” Nabi SAW tidak akan mengharuskan Islam sedunia ini di-Arabkan, karena Arab sebagai kultur tidak harus sama dengan negara- negara lain di dunia ini. Inovasi baru bidang pendidikan, kesehatan, bidang pemberdayaan masyarakat, kepemimpinan Islam yang bersih serta tidak memperkaya diri, menghapus system kultus individu, kolegialisme dalam penegakan Islam, memiliki kekayaan sumber daya manusia dari berbagai disiplin ilmu, yang terserak di ratusan universitas yang dimiliki Dan tampil sebagai the largest modern Islamic organization ini the world, kata Prof. Liddle. (HM. ASRORI MA'RUF)
 

Selasa, 07 Mei 2013

ESENSI HAJI (Ulasan Kritis Dari Pak Marzuki)

Ibadah haji seolah kehilangan makna bagi umat Islam Indonesia secara umum. Seperti dimaklumi bahwa Ibadah haji sudah menjadi tradisi sebagian besar umat muslim Indonesia secara turun menurun. Ratusan ribu jamaah haji Indonesia  setiap tahunnya selalu memenuhi wilayah Masjidil Haram.
Namun, Ibadah haji yang dilakukan ratusan ribu/jutaan jamaah tak berdaya menjelaskan dan menjawab krisis di Indonesia. Faktanya, Indonesia mendapat julukan negara terkorup no.1 di  Asia dan nomor 2 di dunia. Sehingga ada kesimpulan umum, haji yang dilakukan jutaan tak berbekas, hanya sekadar menjadi ritual sia-sia belaka.
Selama ini haji lebih dititikberatkan pada syariat, fiqih dan ritual, sekadar memenuhi rukun-wajib haji. Yang lebih ironis lagi, orang berangkat ke tanah suci, pulang supaya disebut dengan hajji atau hajjah di depan namanya. Esensi ditinggalkan, gebyar lebih utama disuguhkan.
Semangat berhaji bisa dianalogkan dengan semangat orang muslim membangun masjid, namun belum/tidak diteruskan tahap memakmurkan masjid apalagi memakmurkan jamaah. Esensi haji belum menjadi mainstream, memahami adanya momentum untuk melakukan perubahan.
Pelaksanaan ibadah haji yang benar harus ditunaikan sehingga ibadah ini benar-benar membekas dan merubah pola fikir, pola bicara, dan pola tingkah laku. Untuk mengawalinya, apa sebenarnya motivasi haji yang harus dipunyai oleh seorang muslim?
1.         Reason to Do, memiliki alasan kuat, tekad dan niat ikhlas dalam berhaji.
2.         Understanding Religion Level, memandang bahwa jamaah memiliki pemahaman agama berbeda. Bila fokus pada fiqih semata timbul kesan haji sangat complicated, rumit dan susah. Padahal yassiru wa laa tu’assiru.
3.         Pemahaman haji sebagai wasilah atau jembatan. Kendaraan (vehicle) mencapai masa depan lebih baik. Kalau tahun ini berangkat haji, harusnya tahun ini lebih baik dibanding tahun kemarin.
4.         Penghayatan, haji sebagai suatu prosesi. Ibarat film kehidupan, manusia sebagai aktor, Allah sutradara. Dalam film ada skenario sa’i, thawaf, dan lain-lain. Setting tempat seperti Ka’bah, Shafa-Marwa. Kesadaran menjadi aktor terbaik hingga meraih “piala citra”.
Banyak esensi dari ibadah haji yang betul-betul mulia. Dalam beribadah haji, semua jamaah memakai pakaian ihrom. Sesungguhnya hal ini mengandung pesan rahasia yang mendalam. Di antara pesan tersebut adalah:
1.       Pakaian putih 2 lembar tak berjahit, paling tidak 3 pesan terselip di dalamnya (Ketulusan-sincerity, Kesamaan-similiarity, Kesederhanaan-simplicity).
2.       Pakaian putih filosofi dari kesucian, kebersihan, keselasan.
3.       Ketulusan dalam bahasa agama Ikhlas.
Ketulusan bermakna give more get even more (berikan lebih-kita akan mendapat lebih).
Beribadah haji juga melakukan thawaf. Pelajaran yang tinggi nilainya dari prosesi ibadah ini. Keikhlasan dibangun, kepasrahan ditumbuhkan, kesucian dijaga, kesabaran dikembangkan. Pelajaran untuk hidup bersama dengan orang lain juga ditanamkan dalam thawaf ini. Orang harus menghormati orang lain, menjaga ketenangan ketentraman orang lain. Dalam menjalankan tugasnya, orang harus selaras dengan aturan dan keteraturan. Dan juga yang lebih utama dari pelajaran thawaf ini adalah keikhlasan yang tinggi ditempa.
Ibadah sa’I juga mengandung makna yang luar biasa. Perjuangan, keuletan, ketangguhan untuk mendapatkan sesuatu dengan tetap menjaga kehormatan orang lain. Jiwa ikhlas betul-betul digemblengkan. Dan masih banyak makna esensial dari rangkaian ibadah haji yang lainnya yang menjadikan  manusia siap untuk berubah baik dengan penuh keikhlasan.
Manusia yang selalu ikhlas dan berusaha terus ikhlas adalah gemblengan haji yang sesungguhnya. Mereka adalah pertama, manusia yang selalu melihat peluang dalam kehidupan (tidak pernah melihat ancaman dalam hidup). Kedua, manusia yang berpikir longterm bukan short term. Berpikir jangka panjang-kalau berhasil bersyukur & bila gagal sabar. Ketiga adalah manusia yang memberikan sesuatu kepada orang lain (purpose right). Kemaslahatan bersama selalu dijunjung tinggi. (edited by mashadiok@gmail.com).

Senin, 06 Mei 2013

WUKUF DIMULAI DENGAN KHOTBAH

Setelah masuk waktu dzuhur, wukuf di Arofah dimulai dengan khutbah. Bukannya dimulai dengan adzan seperti dalam sholat Jum’at. Sehingga urut-urutannya adalah : (1) Khutbah (2) Adzan (3) Iqomah terus sholat dzuhur dua-rakaat (4) Iqomah terus sholat-ashar dua-rakaat. Demikian ketentuan yang mu’tabar didasarkan atas KITAB-KITAB RUJUKAN sbb: 
PERTAMA : 
Kitab ZADUL MA’AD Jilid 2, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Terjemahan Amiruddin Djalil Lc. Penerbit Griya Ilmu Jakarta 2007, halaman 427. Tertulis : “Setelah menyelesaikan khutbah, Nabi SAW memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan dan qamat, kemudian beliau SAW mengerjakan shalat-dzuhur dua-rakaat…Dilanjutkan dengan shalat-ashar dua-rakaat”.
KEDUA :
Kitab AS-SIRAH AN-NABAWIYYAH Riwayat Hidup Rasulullah SAW, Abul Hasan Ali Al- Hasany An-Nadwy. Terjemahan H. Bey Arifin dan Yunus Ali Muhdhar, Penerbit Bina Ilmu Jakarta 1989, halaman 422 alinea 2 dan 3.
KETIGA :
Kitab HAYATU MUHAMMAD atau Sejarah Hidup Muhammad, karya Muhammad Husain Haekal.Terjemahan Ali Audah, Penerbit Litera Antar Nusa, Jakarta, 1990. Cetakan ke-Sebelas, halaman 552. Yang tertulis paparan tentang kumpulnya para sahabat Nabi SAW mendengarkan khutbah Nabi. …( tidak disebut tentang adzan dan sholatnya Nabi )………..”
KEEMPAT :
Buku KITAB HAJI, atau HAJJATUR RASUL, ( Tuntunan Menunaikan Haji dan Umrah Menurut sunnah Rasululloh SAW ), K.H. Nadjih Ahjad, Penerbit CV.Tri Bakti Surabaya 1993 Cetakan ke-l, Sub-Bab WUKUF halaman : 52 dan 101. Tertulis : ”Setelah masuk waktu dzuhur diadakan khutbah, lalu adzan iqomah dan sholat jama’ah Dzuhur dengan qosor, lalu iqomah dan jama’ah sholat Ashar dengan qosor ”
KELIMA :
Majalah ASY-SYARI’AH ( Permata Salaf ) Volume VI / No. 69 Tahun 1432.H / 2011.M. Rubrik Jejak HAJI WADA’ ; hal 68 : “Di Arofah ketika matahari sudah condong , kemudian beliau menuju perut lembah dan berkhutbah.” Diteruskan hal 69 + 70 tertulis : “Bilal menguman- dangkan adzan, lalu iqomat dan shalat dzuhur, iqomat lagi lalu sholat ashar. Beliau tidak shalat di antara keduanya sama sekali.” (HM. ASRORI MA'RUF).

MEMELIHARA DINAMIKA JAMAAH

Kaitan Peran Karu dan Karom (Oleh : HM. Asrori Ma’ruf )                                                  
1-    Jama’ah (orang banyak ) calon haji itu memiliki karakter yang berbeda-beda, hingga perlu dikenali, minimal disadari keragaman itu.
2-    Jika muncul perkataan atau ungkapan  kalimat yang   “tajam” atau malahan “keras“ dan janganlah terpancing, apalagi membuat reaksi.
3-    Sering kejadian kecil atau sepele sekalipun, akan mudah memancing emosi. Jangan pula malah terjadi keributan dengan pasangannya sendiri ( suami / isteri ).
4-     Perbedaan pendapat dalam suatu masalah bisa saja akan berakibat menimbulkan sikap ekstrim. Kesabaran menyapih ketua-regu atau ketua-rombongan amat dinanti.
5-    Karu dan karom memposisikan dirinya bukan sebagai kepala-regu dan atau kepala-rombongan, tetapi “sementara” sebagai pelayan.
6-    Untuk disadari, bahwa tidak semua calon haji memiliki rasa-sosial yang tinggi, tapi banyak ( minimal ada ) pula yang ego-nya tinggi.
7-    Yang berusia muda hendaknya lebih siap untuk berkurban bagi yang lebih tua, dan untuk sementara pula hendaknya bisa meninggalkan status-sosialnya di luar haji.
8-    Memang ada kalanya, masing-masing individu perlu menyampaikan perihal  aspek- kekurangan yang ada pada dirinya. Hal ini cukup lingkup internal dari kolega  yang akan banyak ber-interaksi. Misalnya antar anggota regu, karom dan karu-karunya.
9-    Memang pada moment yang pas, membuka diri itu amat penting, supaya orang lain mampu memahami dan kemudian akan bersikap secara pas terhadap diri kita.
10- Janganlah terlalu vulgar mengomentari sikap pihak lain, misalnya : “Haji kok Cuma yang diributkan belanja oleh-oleh melulu.” kecuali dengan kalimat yang bijak.                                                     
11- Memang kematangan pribadi itu bisa didapat dari pengembangan rasa-sosial serta keluasan dunia pergaulan, termasuk kecerdasan dalam mengendalikan emosi.
12- Hendaknya tidak mudah mengeluh, karena mengeluh itu sejenis sikap yang muncul atas dasar wacana-pemikiran yang negatif. Untuk diingatkan bahwa segala sesuatu itu tergantung dari aspek atau cara dan sudut pandangnya terhadap sesuatu tadi.
13- Dikembangkan dalam satu regu, akan kesadaran anggota-2nya, bahwa dari masing-masing itu saling melengkapi. Bersikaplah dengan : “Apa yang aku bisa bantu ?”
14- Masing-masing karom dan karu tidak bersikap  Egoisme-Spiritual  karena berminat untuk banyak ibadah, maka fungsi dan tugas-tugas regu / rombonganya terlalaikan. Nlesihke anggota ini tugas karu / karom yang membawa kepuasan anggota jamaah.
15- Selalu menerapkan pola pikir dan pola sikap yang positif untuk mendukung menjadi ringannya bertindak dan berbuat, baik dalam ibadah maupun berbuat dalam rangka penyempurnaan amalan-amalannya.
16- Mengacu kepada kepimpinan di dalam Muhammadiyah, bahwa kepimpinan berpola personal-karismatik akan semakin tergantikan oleh pola kepimpinan yang  kolegial-transformatif, maka seyogyanya DITIADAKAN saja model ketua atau kepala kafilah.
17- Pimpinan seluruh jama’ah KBIH Aisyiyah Bantul, secara kolektif berada pada para ketua-rombongan. Untuk Bantul memang belum pernah membentuk model kepala kafilah. Semua ini dimaksudkan untuk menjamin kebersamaan antara para karom.
18- Para karom ini akan mengambil kebijakan-kebijakan strategis, yang menyangkut :perihal perjalanan, tata laksana ibadah, pengamanan barang, pengaturan tempat – menginap di maktab, penentuan tenda untuk wukuf dan mabit, penentuan khotib dan imam wukuf di Arofah dan selama di Mina, termasuk pemberi ceramah mabit di Mina, pengaturan ziarah tempat-tempat bersejarah di Medinah dan Mekah, dlsb.
19- Setiap tindakan yang akan diambil sehubungan dengan kelompok-jama’ah harus-lah menjadi kesepakatan bersama antar para karom. Dengan demikian setiap laku dan tindakan karom yang satu adalah wujud yang sah dari kebijakan para karom.
20- Bahwa adalah hal yang manusiawi jika terdapat kesan berlomba antar para karom, atau juga karu, selagi masih dalam persaingan yang positif dan bukan yang negative. Namun hendaknya tetap dalam koridor al-birr dan at-taqwa. Artinya ada nilai-baik yang maslahat bagi pihak lain, namun juga harus  tetap menghindar dari sesuatu yang menyakitkan orang lain. Perlu diingat, bahwa berbuat baik kepada orang lain di tanah suci itu amat berkesan mendalam. Sebaliknya berbuat jelek atau menyakit-kan orang lain di tanah suci itu pasti akan lebih amat berbekas mendalam juga. 
21- Menyelenggarakan acara keakraban pada saat mengakhiri agenda = selesai wukuf di Arofah, selesai mabit di Mina, sholat fardhu terakhir di Masjid Nabi/ akan mulai meninggalkan Madinah, akan melakukan wukuf Arofah/saat meninggalkan maktab, Moment-moment itu amat berharga, bukan termasuk kewajiban tetapi sekedar satu cara bermaaf-maafan dengan saling bersalam-salaman secara bersama-sama.
22- ACARA KEAKRABAN tersebut diatur dengan : (1) ada protokol yang memimpin, (2) ada yang memimpin do’a, (3) diakhiri dengan saling memaaf dan salam-salaman.Moment ini akan membawa suasana syahdu dan haru, amat dalam merasuk kalbu.
23- Menyampaikan pesan kepada para jama’ah,  supaya semaksimal mungkin mampu memanfaatkan waktu-waktu ibadah ; selagi masih di tanah suci Mekah dan Madinah Utamanya thowaf sunnat, sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali di Baitullah.
24- Memberikan penjelasan sebaik-baiknya kepada jama’ah, mengapa Aisyiyah tidak terlalu bernafsu melakukan umrah-umroh sebelum haji. Apalagi jika ada terkesan anggota jama’ah Aisyiyah yang sekedar “ngiri” kepada jama’ah lain, luar Aisyiyah.
25- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada jama’ah, sesuai dengan semboyan bahwa KBIH Aisyiyah berfungsi dan bertugas untuk menghantarkan para jama’ah menuju haji yang “Sesuai Dengan Sunah Rasululloh SAW.”

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host