Sebuah pertanyaan klise dari jamaah yang selalu menghiasi setiap pembimbingan haji di regu-regu. Jawabannya? (1)-
Dalam hiruk pikuknya kegiatan manasik-haji, pernah terjadi sebuah ‘ANEKDOT’
yang menggelikan. Berujud penggunaan kata oleh seorang nara-sumber, yang
menjadi sasaran kritik nara-sumber lain. Sebenarnya perbedaan pendapat itu
hanya di seputar pembedaan arti ‘terminologi’ (arti istilah) yang berhadapan
dengan arti ‘semantik’ (arti kata). Dalam pembedaan ini, orang seharusnya
memahami sesuai kaidah ilmu-bahasa. (2)-
Di hadapan peserta manasik, seorang pelatih itu menegaskan “Hanya dalam ibadah
Haji serta Umrah saja, maka di situ mengharuskan hukum wajibnya
niat-dilafadzkan” Dari dua-kata terakhir inilah ‘niat dilafadzkan’ sumber
persoalannya. Tentulah pelatih itu merasa aman dan nyaman mengucapkan dua kata
tersebut. Munculnya persoalan, karena seorang pelatih lain yang kritis,
mendadak menyampaikan kritiknya. Kritiknya yaitu : Pak, sebenarnya arti dari
kata-kata ‘niat dilafadzkan’ itu tidak lain ya ‘nawaitu’ Jadi kalau orang berkata niat-dilafadzkan itu artinya
tidak lain ya nawaitu (aku berniat). (3)-
Kemudian ahlul-adli, itu menengahi dengan katanya : “Sesuatu kata yang ternyata sudah menjadi istilah umum, maka kata itu jangan lagi diberi pemaknaan ke
arti-kata. Jangan ada orang memberi makna terhadap kalimat ‘Dia sudah di atas
bus’ dengan arti, bus-nya disini dan orang ada di atasnya (di atas bus itu).
Karena kata-kata ‘di atas bus’ itu sudah menjadi istilah (terminology), yang
artinya sudah umum difahami, yaitu dia sudah naik bus. Jangan lagi diartikan
secara semantik (arti-kata). Yaitu bahwa kata ‘dia di atas bus’ berarti busnya
di bawah sedang orangnya di atas (ini namanya arti-kata). Bahwa kata-kata itu tidak selalu harus diberi
makna ‘semantik’ bisa juga ‘term ’.(4)-
Bahwa makna kata-kata ‘niat dilafadzkan’ dalam bahasa Indonesia, yaitu : Bahwa
niat itu diucapkan, tidak cukup di dalam bathin. Atau kalau di bahasa Arabkan,
bahwa niat itu dilafadzkan. Jadi ‘diucapkan’ itu sama artinya dengan ‘dilafadzkan’
itu identik. Contoh lain: Qur’an itu lafdzan
dan ma’nan adalah dari Allah SWT. ini bisa diartikan, bahwa Qur’an itu secara
ucapan/perkataan dan makna
adalah dari Allah SWT. Sudah jelas kiranya, bahwa melafadzkan Qur’an berarti
mengucapkan atau membaca secara lisan terhadap Qur’an. Contoh lain lagi :
Begitu pula ‘melafadzkan-niat’ artinya cukup jelas, yaitu mengucapkan atau memperkatakan
secara lisan atas niat yang dalam hati. Jangan bahkan ragu, melafadzkan niat,
itu tidak lain adalah mengucapkan (lisan) niat. (5)-
Jangan malahan dibingungkan untuk mengganti kata ‘melafadzkan’ yang artinya ‘mengucapkan’ itu dengan kata-kata
lainnya yang kurang pas. Bahkan saking bingung- nya orang menggantinya dengan
kata ‘menjatuhkan’. Dus kata-kata ‘melafadzkan-niat’ diganti dengan ‘menjatuhkan-niat’. Ini dikawatirkan hal ini akan difahami orang secara semantik
pula, yaitu niat-dijatuhkan dari atas ke bawah, sehingga akan menjadi
babak-belur jadinya. Diingatkan, agar hendaknya orang lebih luwes dalam
bersikap ‘akulah yang benar’ Bahwa diluar individu kita ternyata masih ada yang
lainnya ‘kebersamaan’. (HM ASRORI MA'RUF).