Senin, 06 Mei 2013

MEMELIHARA DINAMIKA JAMAAH

Kaitan Peran Karu dan Karom (Oleh : HM. Asrori Ma’ruf )                                                  
1-    Jama’ah (orang banyak ) calon haji itu memiliki karakter yang berbeda-beda, hingga perlu dikenali, minimal disadari keragaman itu.
2-    Jika muncul perkataan atau ungkapan  kalimat yang   “tajam” atau malahan “keras“ dan janganlah terpancing, apalagi membuat reaksi.
3-    Sering kejadian kecil atau sepele sekalipun, akan mudah memancing emosi. Jangan pula malah terjadi keributan dengan pasangannya sendiri ( suami / isteri ).
4-     Perbedaan pendapat dalam suatu masalah bisa saja akan berakibat menimbulkan sikap ekstrim. Kesabaran menyapih ketua-regu atau ketua-rombongan amat dinanti.
5-    Karu dan karom memposisikan dirinya bukan sebagai kepala-regu dan atau kepala-rombongan, tetapi “sementara” sebagai pelayan.
6-    Untuk disadari, bahwa tidak semua calon haji memiliki rasa-sosial yang tinggi, tapi banyak ( minimal ada ) pula yang ego-nya tinggi.
7-    Yang berusia muda hendaknya lebih siap untuk berkurban bagi yang lebih tua, dan untuk sementara pula hendaknya bisa meninggalkan status-sosialnya di luar haji.
8-    Memang ada kalanya, masing-masing individu perlu menyampaikan perihal  aspek- kekurangan yang ada pada dirinya. Hal ini cukup lingkup internal dari kolega  yang akan banyak ber-interaksi. Misalnya antar anggota regu, karom dan karu-karunya.
9-    Memang pada moment yang pas, membuka diri itu amat penting, supaya orang lain mampu memahami dan kemudian akan bersikap secara pas terhadap diri kita.
10- Janganlah terlalu vulgar mengomentari sikap pihak lain, misalnya : “Haji kok Cuma yang diributkan belanja oleh-oleh melulu.” kecuali dengan kalimat yang bijak.                                                     
11- Memang kematangan pribadi itu bisa didapat dari pengembangan rasa-sosial serta keluasan dunia pergaulan, termasuk kecerdasan dalam mengendalikan emosi.
12- Hendaknya tidak mudah mengeluh, karena mengeluh itu sejenis sikap yang muncul atas dasar wacana-pemikiran yang negatif. Untuk diingatkan bahwa segala sesuatu itu tergantung dari aspek atau cara dan sudut pandangnya terhadap sesuatu tadi.
13- Dikembangkan dalam satu regu, akan kesadaran anggota-2nya, bahwa dari masing-masing itu saling melengkapi. Bersikaplah dengan : “Apa yang aku bisa bantu ?”
14- Masing-masing karom dan karu tidak bersikap  Egoisme-Spiritual  karena berminat untuk banyak ibadah, maka fungsi dan tugas-tugas regu / rombonganya terlalaikan. Nlesihke anggota ini tugas karu / karom yang membawa kepuasan anggota jamaah.
15- Selalu menerapkan pola pikir dan pola sikap yang positif untuk mendukung menjadi ringannya bertindak dan berbuat, baik dalam ibadah maupun berbuat dalam rangka penyempurnaan amalan-amalannya.
16- Mengacu kepada kepimpinan di dalam Muhammadiyah, bahwa kepimpinan berpola personal-karismatik akan semakin tergantikan oleh pola kepimpinan yang  kolegial-transformatif, maka seyogyanya DITIADAKAN saja model ketua atau kepala kafilah.
17- Pimpinan seluruh jama’ah KBIH Aisyiyah Bantul, secara kolektif berada pada para ketua-rombongan. Untuk Bantul memang belum pernah membentuk model kepala kafilah. Semua ini dimaksudkan untuk menjamin kebersamaan antara para karom.
18- Para karom ini akan mengambil kebijakan-kebijakan strategis, yang menyangkut :perihal perjalanan, tata laksana ibadah, pengamanan barang, pengaturan tempat – menginap di maktab, penentuan tenda untuk wukuf dan mabit, penentuan khotib dan imam wukuf di Arofah dan selama di Mina, termasuk pemberi ceramah mabit di Mina, pengaturan ziarah tempat-tempat bersejarah di Medinah dan Mekah, dlsb.
19- Setiap tindakan yang akan diambil sehubungan dengan kelompok-jama’ah harus-lah menjadi kesepakatan bersama antar para karom. Dengan demikian setiap laku dan tindakan karom yang satu adalah wujud yang sah dari kebijakan para karom.
20- Bahwa adalah hal yang manusiawi jika terdapat kesan berlomba antar para karom, atau juga karu, selagi masih dalam persaingan yang positif dan bukan yang negative. Namun hendaknya tetap dalam koridor al-birr dan at-taqwa. Artinya ada nilai-baik yang maslahat bagi pihak lain, namun juga harus  tetap menghindar dari sesuatu yang menyakitkan orang lain. Perlu diingat, bahwa berbuat baik kepada orang lain di tanah suci itu amat berkesan mendalam. Sebaliknya berbuat jelek atau menyakit-kan orang lain di tanah suci itu pasti akan lebih amat berbekas mendalam juga. 
21- Menyelenggarakan acara keakraban pada saat mengakhiri agenda = selesai wukuf di Arofah, selesai mabit di Mina, sholat fardhu terakhir di Masjid Nabi/ akan mulai meninggalkan Madinah, akan melakukan wukuf Arofah/saat meninggalkan maktab, Moment-moment itu amat berharga, bukan termasuk kewajiban tetapi sekedar satu cara bermaaf-maafan dengan saling bersalam-salaman secara bersama-sama.
22- ACARA KEAKRABAN tersebut diatur dengan : (1) ada protokol yang memimpin, (2) ada yang memimpin do’a, (3) diakhiri dengan saling memaaf dan salam-salaman.Moment ini akan membawa suasana syahdu dan haru, amat dalam merasuk kalbu.
23- Menyampaikan pesan kepada para jama’ah,  supaya semaksimal mungkin mampu memanfaatkan waktu-waktu ibadah ; selagi masih di tanah suci Mekah dan Madinah Utamanya thowaf sunnat, sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali di Baitullah.
24- Memberikan penjelasan sebaik-baiknya kepada jama’ah, mengapa Aisyiyah tidak terlalu bernafsu melakukan umrah-umroh sebelum haji. Apalagi jika ada terkesan anggota jama’ah Aisyiyah yang sekedar “ngiri” kepada jama’ah lain, luar Aisyiyah.
25- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada jama’ah, sesuai dengan semboyan bahwa KBIH Aisyiyah berfungsi dan bertugas untuk menghantarkan para jama’ah menuju haji yang “Sesuai Dengan Sunah Rasululloh SAW.”

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host