Kaitan Peran Karu dan Karom (Oleh : HM. Asrori Ma’ruf )
1- Jama’ah (orang banyak ) calon haji itu memiliki karakter
yang berbeda-beda, hingga perlu dikenali, minimal disadari keragaman itu.
2- Jika muncul perkataan atau ungkapan kalimat yang
“tajam” atau malahan “keras“ dan janganlah terpancing, apalagi membuat
reaksi.
3- Sering kejadian kecil atau sepele sekalipun, akan mudah
memancing emosi. Jangan pula malah terjadi keributan dengan pasangannya sendiri
( suami / isteri ).
4- Perbedaan pendapat
dalam suatu masalah bisa saja akan berakibat menimbulkan sikap ekstrim.
Kesabaran menyapih ketua-regu atau
ketua-rombongan amat dinanti.
5- Karu dan karom memposisikan dirinya bukan sebagai
kepala-regu dan atau kepala-rombongan, tetapi “sementara” sebagai pelayan.
6- Untuk disadari, bahwa tidak semua calon haji memiliki
rasa-sosial yang tinggi, tapi banyak ( minimal ada ) pula yang ego-nya tinggi.
7- Yang berusia muda hendaknya lebih siap untuk berkurban
bagi yang lebih tua, dan untuk sementara pula hendaknya bisa meninggalkan
status-sosialnya di luar haji.
8- Memang ada kalanya, masing-masing individu perlu
menyampaikan perihal aspek- kekurangan
yang ada pada dirinya. Hal ini cukup lingkup internal dari kolega yang akan banyak ber-interaksi. Misalnya
antar anggota regu, karom dan karu-karunya.
9- Memang pada moment yang pas, membuka diri itu amat
penting, supaya orang lain mampu memahami dan kemudian akan bersikap secara pas
terhadap diri kita.
10- Janganlah terlalu vulgar mengomentari sikap pihak lain,
misalnya : “Haji kok Cuma yang diributkan belanja oleh-oleh melulu.” kecuali
dengan kalimat yang bijak.
11- Memang kematangan pribadi itu bisa didapat dari
pengembangan rasa-sosial serta keluasan dunia pergaulan, termasuk kecerdasan
dalam mengendalikan emosi.
12- Hendaknya tidak mudah mengeluh, karena mengeluh itu
sejenis sikap yang muncul atas dasar wacana-pemikiran yang negatif. Untuk
diingatkan bahwa segala sesuatu itu tergantung dari aspek atau cara dan sudut
pandangnya terhadap sesuatu tadi.
13- Dikembangkan dalam satu regu, akan kesadaran
anggota-2nya, bahwa dari masing-masing itu saling melengkapi. Bersikaplah
dengan : “Apa yang aku bisa bantu ?”
14- Masing-masing karom dan karu tidak bersikap Egoisme-Spiritual karena berminat untuk banyak ibadah, maka
fungsi dan tugas-tugas regu / rombonganya terlalaikan. Nlesihke anggota
ini tugas karu / karom yang membawa kepuasan anggota jamaah.
15- Selalu menerapkan pola pikir dan pola sikap yang positif
untuk mendukung menjadi ringannya bertindak
dan berbuat, baik dalam ibadah maupun berbuat dalam rangka penyempurnaan
amalan-amalannya.
16- Mengacu kepada kepimpinan di dalam Muhammadiyah, bahwa
kepimpinan berpola personal-karismatik akan
semakin tergantikan oleh pola kepimpinan yang
kolegial-transformatif, maka
seyogyanya DITIADAKAN saja model ketua atau kepala kafilah.
17- Pimpinan seluruh jama’ah KBIH Aisyiyah Bantul, secara
kolektif berada pada para ketua-rombongan. Untuk Bantul memang belum pernah
membentuk model kepala kafilah. Semua ini dimaksudkan untuk menjamin
kebersamaan antara para karom.
18- Para karom ini akan mengambil kebijakan-kebijakan
strategis, yang menyangkut :perihal perjalanan, tata laksana ibadah, pengamanan
barang, pengaturan tempat – menginap di maktab, penentuan tenda untuk wukuf dan
mabit, penentuan khotib dan imam wukuf di Arofah dan selama di Mina, termasuk
pemberi ceramah mabit di Mina, pengaturan ziarah tempat-tempat bersejarah di
Medinah dan Mekah, dlsb.
19- Setiap tindakan yang akan diambil sehubungan dengan
kelompok-jama’ah harus-lah menjadi kesepakatan bersama antar para karom. Dengan
demikian setiap laku dan tindakan karom yang satu adalah wujud yang sah dari
kebijakan para karom.
20- Bahwa adalah hal yang manusiawi jika terdapat kesan
berlomba antar para karom, atau juga karu, selagi masih dalam persaingan yang
positif dan bukan yang negative. Namun hendaknya tetap dalam koridor al-birr dan at-taqwa. Artinya ada nilai-baik yang maslahat bagi pihak lain,
namun juga harus tetap menghindar dari
sesuatu yang menyakitkan orang lain. Perlu diingat, bahwa berbuat baik kepada orang lain di tanah suci itu amat berkesan
mendalam. Sebaliknya berbuat jelek
atau menyakit-kan orang lain di tanah suci itu pasti akan lebih amat berbekas
mendalam juga.
21- Menyelenggarakan acara keakraban pada saat mengakhiri
agenda = selesai wukuf di Arofah, selesai mabit di Mina, sholat fardhu terakhir
di Masjid Nabi/ akan mulai meninggalkan Madinah, akan melakukan wukuf
Arofah/saat meninggalkan maktab, Moment-moment itu amat berharga, bukan
termasuk kewajiban tetapi sekedar satu cara bermaaf-maafan dengan saling
bersalam-salaman secara bersama-sama.
22- ACARA KEAKRABAN tersebut diatur dengan : (1) ada protokol
yang memimpin, (2) ada yang memimpin do’a, (3) diakhiri dengan saling memaaf
dan salam-salaman.Moment ini akan membawa suasana syahdu dan haru, amat dalam
merasuk kalbu.
23- Menyampaikan pesan kepada para jama’ah, supaya semaksimal mungkin mampu memanfaatkan
waktu-waktu ibadah ; selagi masih di tanah suci Mekah dan Madinah Utamanya
thowaf sunnat, sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali di Baitullah.
24- Memberikan penjelasan sebaik-baiknya kepada jama’ah,
mengapa Aisyiyah tidak terlalu bernafsu melakukan umrah-umroh sebelum haji.
Apalagi jika ada terkesan anggota jama’ah Aisyiyah yang sekedar “ngiri” kepada
jama’ah lain, luar Aisyiyah.
25- Memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada jama’ah, sesuai dengan semboyan bahwa KBIH
Aisyiyah berfungsi dan bertugas untuk menghantarkan para jama’ah menuju haji
yang “Sesuai Dengan Sunah Rasululloh SAW.”
19.19
Unknown


0 komentar:
Posting Komentar