Umrah sunnat /Makiyah merupakan topik pembicaraan yang up to date dari satu musim haji ke musim haji berikutnya.Yang dimaksud Umrah-Makiyah
di sini ialah: Umrah yang dilakukan oleh para calon-haji maupun para haji
selama diam di Mekah setelah umrah-wajib. Baikpun dilakukan menjelang atau
setelah ibadah haji, baik dilakukan satu-kali, dua-kali atau bahkan berkali-kali.
Orang sering menyebutnya dengan istilah Umrah-Sunnat. Disebut dengan “Makiyah”
sebab dilakukan orang selagi tinggal di kota Mekah, dengan keluar-masuk kota
Mekah mengambil miqot umumnya di
masjid Tan’im. Kalau dilakukan menjelang ibadah haji, artinya umrah Makiyah itu
dilakukan oleh Jama’ah Gelombang I, yang masa tinggal di Mekah cukup waktu
sambil menanti pelaksanaan ibadah
haji. Kalau dilakukan setelah ibadah haji, itu artinya umrah Makiyah dilakukan oleh Jama’ah Gelombang II, yang masa
tinggalnya di Mekah cukup waktu setelah pelaksanaan ibadah haji, yang
diteruskan ziarah Masjid Nabi. Ada yang melakukan umrah Makiyah itu satu-kali
saja, ada yang dua-kali, namun ada yang bahkan berkali-kali ; pada umumnya
mereka menyebutnya umrah-sunnat
SEBUAH ANEKDOT
Dalam masa menunggu
kepulangan ke tanah air, ada peluang waktu beberapa hari di Mekah. Waktu luang
ini oleh warga jama’ah KBIH ‘Aisyiyah lebih dimanfaatkan untuk rajin ber-thowaf
sunnat. Sedang bagi jama’ah tertentu sering dimanfaatkan untuk melakukan umrah-Tan’im
( umrah-Makiyah= umrah-sunat ). Dalam kondisi beda kegiatan ini, muncul sebuah
ungkapan : “ Dalam mengisi luang waktu begini, orang belanja ke pasar pun
dibolehkan kok, mengapa umrah-Makiyah tidak boleh ; lalu mana dalil yang
melarang ?” Tentu saja bagi sebagian warga jama’ah ‘Aisyiyah mendengar ungkapan
kalimat tersebut, menjadi bingung. Namun serta-merta ada seorang warga jama’ah
yang mampu mengklarifikasi dengan komentar singkat dan lalu balik bertanya. Dia
berkomentar : “ Dalam ibadah-mahdloh (termasuk
umrah-Tan’im) yang pokok diperlukan adalah dalil yang memerintahkan, dan justru
tidak memerlukan adanya dalil yang melarang. Kemudian sekarang manakah dalil
yang memerintahkan itu ?” Sebenarnya
dalam perbedaan tersebut sedang berhadapan dua-corak faham, yaitu corak
faham-Mazhabiy dan corak faham-Manhajiy. Hal ini yang mengilhami persoalan ini
dibahas dan ditulis dalam kajian singkat rubrik kita.
KASUS SITI ‘AISYAH R.A.
Pada umumnya yang menjadi
landasan-dasar amalan umrah-Makiyah itu, adalah kasus umrahnya Siti ‘Aisyah
binti Abu Bakar. Pada malam keberangkatan jelang meninggalkan kota Mekah pulang
ke Medinah, disebut malam-Muhassob. Malam itu atas suruhan Nabi SAW juga, maka
Siti ‘Aisyah diantar oleh kakak kandungnya Abdurrahman bin Abu Bakar untuk keluar Mekah menuju Tan’im lalu berihrom dari
sana. Umrah-Tan’im ini dilakukan oleh Siti ‘Aisyah, karena dia merasa tidak
puas disebabkan dia tidak melakukan Tawaf sewaktu tiba di Mekah karena sedang
haid. Atas dasar kasus Siti ‘Aisyah inilah, sebagian orang ada yang
menganjurkan mengerjakan Umrah-Makiyah sebanyak-banyaknya, sebagai amalan
umrah-sunnat Justru karena umrah-Tan’im ini kasuistik (kasus khusus bagi Siti
‘Aisyah), terbukti pula bahwa Nabi SAW tidak pernah menganjurkannya kepada para
sahabat beliau. Sebab dapat diyakini, bahwa jika amalan umrah itu masyru’ dan baik, tentu Nabi SAW. akan
menganjurkannya kepada para sahabat beliau ; maka kemudian para sahabat beliau
pun akan berlomba-lomba melakukannya baik sesudah atau sebelum haji. Dari Nabi
SAW tidak pernah ditemukan riwayat berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir ( ketetapan) tentang
umrah-Makiyah ini. Kelanjutan pertanyaannya adalah : Bisakah ibadah-makhdoh ( khusus ) itu menggunakan
dasar-landasan dari luar hukum syari’at-wahyu, artinya yang bukan dari Qur’an maupun Hadits Nabi? Bisakah ibadah umrah-makiyah itu
mendasarkan kepada titah ucapan Qoul Ulama?
MENYIKAPI UMRAH-MAKIYAH
Menilik beberapa hadits yang
memberitakan tentang umrah yang dilakukan Nabi SAW. bahwa beliau melakukan umrah
sebanyak 4 kali, masing-masing dalam tahun yang berbeda. Yaitu tahun keenam
(perjanjian Hudaibiyah), tahun ketujuh (umrah qadla), tahun kedelapan
(pembukaan kota Mekah), serta tahun kesepuluh (umrah beserta hajinya). Ternyata
hanya pada setiap saat berkunjung ke Mekah saja, maka beliau melakukan ibadah
umrah itu. Artinya antara umrah satu ke umrah yang lain itu, beliau melakukan
pada tahun yang berbeda. Dan tidak tercatat dalam sejarah hidup beliau, bahwa
selama berada di Mekah, beliau melakukan umrah berulang-ulang. Kalau umum
memahami, bahwa umrah-wajib itu hanya sekali seumur hidup sedang selebihnya
adalah sunnat. Maka tentulah tindakan Nabi SAW melakukan umrah lebih dari satu
kali itu adalah, juga demikian halnya. Namun orang boleh saja membedakan antara
: bagi mukmin biasa sunat, sedangkan bagi Nabi
SAW adalah SUNAH ( dengan huruf kapital ). Karena Muhammadiyah berposisi
sebagai faham-Manhajiy, maka keberadaan dalil-dalil yang mendasari
ibadah-makhdoh, (seperti umrah-Makiyah) haruslah nyata adanya dan penting
fungsinya. Beberapa kaidah ushul-fiqh memang harus dipegangi : 1). Al-Ashlu fil Ibaadati Al-Buthlaan, hatta
yaquuma daliilun alal Amri = Pada dasarnya semua bentuk ibadah itu adalah
dibatalkan, kecuali adanya dalil yang memerintahkan. Tegasnya, orang melakukan
sesuatu ibadah-mahdloh, mesti ada dasar perintah hukum syariat 2).
Al-Ashlu fil Ibaadati Al-Itba’ wal
Ikhlaash= Pada dasarnya dalam
ibadah itu taat-ikuti (perintah) dan (dikerjakan secara) ikhlas. Bahwa apapun
yang bernama ibadah, orang tinggal mengikuti dan mengerjakan dengan ikhlas
karena Alloh SWT. 3). Al-Ashlu fil
Ibaadati al-Tauqiifi wal Itba’ = Pada dasarnya dalam ibadah itu haruslah
ditegakkan ( dilakukan ) serta diikuti ( sesuai perintahnya ), apalagi katagori
ibadah-mahdloh. Ibadah baru menjadi
ibadah, jika memang benar-benar ditegakkan dan dilakukan serta diteladani
sesuai dengan perintah. Didasari ikhlas menerima seperti adanya, tanpa menambah
dan mengurangi, apalagi membuat ritual ibadah yang tambahan.
Akan sangat berbeda halnya
dengan Faham-Mazhabiy (pengikut mazhab), tentu lebih mengutamakan pola faham
yang senada dan seirama dengan mazhab yang dianutnya, dan tidak keluar dari
bingkai mazhabnya. Bisa saja pendapat ini akan berbeda dengan faham-Manhajiy.
Namun perbedaan ini wajar, inilah yang disebut perbedaan dalam katagori khilafiyah. Pada faham-Mazhabiy
(pengikut mazhab), jika ternyata tidak didapatkan dalil alasan-dasar
umrah-Makiyah di dalam Qur’an maupun Hadits, bisa saja akan merujuk kepada
kitab-ulama (qoul-ulama) menjadi dasar rujukannya ; disini sumber hukum
syari’atnya tentu qoul-ulama. Perbedaan dalam khilafiyah ( lebih tepat ikhtilafiyyah
) ini, semua pihak telah bersama sepakat mengakomodasi. Dalam arti,
masing-masing pihak bisa berdiri dan beramal pada posisinya sendiri sambil
menghormat pihak lain yang berbeda. Wallohu
A’lamu bis Showab. (HM. ASRORI MA'RUF).
0 komentar:
Posting Komentar