Minggu, 12 Mei 2013

MENGKRITISI UMRAH SUNAT / UMRAH MAKIYAH

Umrah sunnat /Makiyah merupakan topik pembicaraan yang up to date dari satu musim haji ke musim haji berikutnya.Yang dimaksud Umrah-Makiyah di sini ialah: Umrah yang dilakukan oleh para calon-haji maupun para haji selama diam di Mekah setelah umrah-wajib. Baikpun dilakukan menjelang atau setelah ibadah haji, baik dilakukan satu-kali, dua-kali atau bahkan berkali-kali. Orang sering menyebutnya dengan istilah Umrah-Sunnat. Disebut dengan “Makiyah” sebab dilakukan orang selagi tinggal di kota Mekah, dengan keluar-masuk kota Mekah mengambil miqot umumnya di masjid Tan’im. Kalau dilakukan menjelang ibadah haji, artinya umrah Makiyah itu dilakukan oleh Jama’ah Gelombang I, yang masa tinggal di Mekah cukup waktu sambil menanti pelaksanaan ibadah haji. Kalau dilakukan setelah ibadah haji, itu artinya umrah Makiyah dilakukan oleh Jama’ah Gelombang II, yang masa tinggalnya di Mekah cukup waktu setelah pelaksanaan ibadah haji, yang diteruskan ziarah Masjid Nabi. Ada yang melakukan umrah Makiyah itu satu-kali saja, ada yang dua-kali, namun ada yang bahkan berkali-kali ; pada umumnya mereka menyebutnya umrah-sunnat

SEBUAH ANEKDOT
Dalam masa menunggu kepulangan ke tanah air, ada peluang waktu beberapa hari di Mekah. Waktu luang ini oleh warga jama’ah KBIH ‘Aisyiyah lebih dimanfaatkan untuk rajin ber-thowaf sunnat. Sedang bagi jama’ah tertentu sering dimanfaatkan untuk melakukan umrah-Tan’im ( umrah-Makiyah= umrah-sunat ). Dalam kondisi beda kegiatan ini, muncul sebuah ungkapan : “ Dalam mengisi luang waktu begini, orang belanja ke pasar pun dibolehkan kok, mengapa umrah-Makiyah tidak boleh ; lalu mana dalil yang melarang ?” Tentu saja bagi sebagian warga jama’ah ‘Aisyiyah mendengar ungkapan kalimat tersebut, menjadi bingung. Namun serta-merta ada seorang warga jama’ah yang mampu mengklarifikasi dengan komentar singkat dan lalu balik bertanya. Dia berkomentar : “ Dalam ibadah-mahdloh (termasuk umrah-Tan’im) yang pokok diperlukan adalah dalil yang memerintahkan, dan justru tidak memerlukan adanya dalil yang melarang. Kemudian sekarang manakah dalil yang memerintahkan itu ?”  Sebenarnya dalam perbedaan tersebut sedang berhadapan dua-corak faham, yaitu corak faham-Mazhabiy dan corak faham-Manhajiy. Hal ini yang mengilhami persoalan ini dibahas dan ditulis dalam kajian singkat rubrik kita.  
KASUS SITI ‘AISYAH R.A.
Pada umumnya yang menjadi landasan-dasar amalan umrah-Makiyah itu, adalah kasus umrahnya Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar. Pada malam keberangkatan jelang meninggalkan kota Mekah pulang ke Medinah, disebut malam-Muhassob. Malam itu atas suruhan Nabi SAW juga, maka Siti ‘Aisyah diantar oleh kakak kandungnya Abdurrahman bin Abu Bakar untuk  keluar Mekah menuju Tan’im lalu berihrom dari sana. Umrah-Tan’im ini dilakukan oleh Siti ‘Aisyah, karena dia merasa tidak puas disebabkan dia tidak melakukan Tawaf sewaktu tiba di Mekah karena sedang haid. Atas dasar kasus Siti ‘Aisyah inilah, sebagian orang ada yang menganjurkan mengerjakan Umrah-Makiyah sebanyak-banyaknya, sebagai amalan umrah-sunnat Justru karena umrah-Tan’im ini kasuistik (kasus khusus bagi Siti ‘Aisyah), terbukti pula bahwa Nabi SAW tidak pernah menganjurkannya kepada para sahabat beliau. Sebab dapat diyakini, bahwa jika amalan umrah itu masyru’ dan baik, tentu Nabi SAW. akan menganjurkannya kepada para sahabat beliau ; maka kemudian para sahabat beliau pun akan berlomba-lomba melakukannya baik sesudah atau sebelum haji. Dari Nabi SAW tidak pernah ditemukan riwayat berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir ( ketetapan) tentang umrah-Makiyah ini. Kelanjutan pertanyaannya adalah : Bisakah ibadah-makhdoh ( khusus ) itu menggunakan dasar-landasan dari luar hukum syari’at-wahyu, artinya yang bukan dari  Qur’an maupun Hadits Nabi?    Bisakah ibadah umrah-makiyah itu mendasarkan kepada titah ucapan Qoul Ulama?  
MENYIKAPI UMRAH-MAKIYAH
Menilik beberapa hadits yang memberitakan tentang umrah yang dilakukan Nabi SAW. bahwa beliau melakukan umrah sebanyak 4 kali, masing-masing dalam tahun yang berbeda. Yaitu tahun keenam (perjanjian Hudaibiyah), tahun ketujuh (umrah qadla), tahun kedelapan (pembukaan kota Mekah), serta tahun kesepuluh (umrah beserta hajinya). Ternyata hanya pada setiap saat berkunjung ke Mekah saja, maka beliau melakukan ibadah umrah itu. Artinya antara umrah satu ke umrah yang lain itu, beliau melakukan pada tahun yang berbeda. Dan tidak tercatat dalam sejarah hidup beliau, bahwa selama berada di Mekah, beliau melakukan umrah berulang-ulang. Kalau umum memahami, bahwa umrah-wajib itu hanya sekali seumur hidup sedang selebihnya adalah sunnat. Maka tentulah tindakan Nabi SAW melakukan umrah lebih dari satu kali itu adalah, juga demikian halnya. Namun orang boleh saja membedakan antara : bagi mukmin biasa sunat, sedangkan bagi Nabi  SAW adalah SUNAH ( dengan huruf kapital ). Karena Muhammadiyah berposisi sebagai faham-Manhajiy, maka keberadaan dalil-dalil yang mendasari ibadah-makhdoh, (seperti umrah-Makiyah) haruslah nyata adanya dan penting fungsinya. Beberapa kaidah ushul-fiqh memang harus dipegangi : 1). Al-Ashlu fil Ibaadati Al-Buthlaan, hatta yaquuma daliilun alal Amri = Pada dasarnya semua bentuk ibadah itu adalah dibatalkan, kecuali adanya dalil yang memerintahkan. Tegasnya, orang melakukan sesuatu ibadah-mahdloh, mesti ada dasar perintah hukum syariat  2). Al-Ashlu fil Ibaadati Al-Itba’ wal Ikhlaash= Pada dasarnya dalam ibadah itu taat-ikuti (perintah) dan (dikerjakan secara) ikhlas. Bahwa apapun yang bernama ibadah, orang tinggal mengikuti dan mengerjakan dengan ikhlas karena Alloh SWT. 3). Al-Ashlu fil Ibaadati al-Tauqiifi wal Itba’ = Pada dasarnya dalam ibadah itu haruslah ditegakkan ( dilakukan ) serta diikuti ( sesuai perintahnya ), apalagi katagori ibadah-mahdloh. Ibadah baru menjadi ibadah, jika memang benar-benar ditegakkan dan dilakukan serta diteladani sesuai dengan perintah. Didasari ikhlas menerima seperti adanya, tanpa menambah dan mengurangi, apalagi membuat ritual ibadah yang tambahan.      
Akan sangat berbeda halnya dengan Faham-Mazhabiy (pengikut mazhab), tentu lebih mengutamakan pola faham yang senada dan seirama dengan mazhab yang dianutnya, dan tidak keluar dari bingkai mazhabnya. Bisa saja pendapat ini akan berbeda dengan faham-Manhajiy. Namun perbedaan ini wajar, inilah yang disebut perbedaan dalam katagori khilafiyah. Pada faham-Mazhabiy (pengikut mazhab), jika ternyata tidak didapatkan dalil alasan-dasar umrah-Makiyah di dalam Qur’an maupun Hadits, bisa saja akan merujuk kepada kitab-ulama (qoul-ulama) menjadi dasar rujukannya ; disini sumber hukum syari’atnya tentu qoul-ulama. Perbedaan dalam khilafiyah ( lebih tepat ikhtilafiyyah ) ini, semua pihak telah bersama sepakat mengakomodasi. Dalam arti, masing-masing pihak bisa berdiri dan beramal pada posisinya sendiri sambil menghormat pihak lain yang berbeda. Wallohu A’lamu bis Showab. (HM. ASRORI MA'RUF).


 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host