Rabu, 22 Mei 2013

NIAT UMROH ATAU HAJI?

Sebuah pertanyaan klise dari jamaah yang selalu menghiasi setiap pembimbingan haji di regu-regu. Jawabannya? (1)- Dalam hiruk pikuknya kegiatan manasik-haji, pernah terjadi sebuah ‘ANEKDOT’ yang menggelikan. Berujud penggunaan kata oleh seorang nara-sumber, yang menjadi sasaran kritik nara-sumber lain. Sebenarnya perbedaan pendapat itu hanya di seputar pembedaan arti ‘terminologi’ (arti istilah) yang berhadapan dengan arti ‘semantik’ (arti kata). Dalam pembedaan ini, orang seharusnya memahami sesuai kaidah ilmu-bahasa. (2)- Di hadapan peserta manasik, seorang pelatih itu menegaskan “Hanya dalam ibadah Haji serta Umrah saja, maka di situ mengharuskan hukum wajibnya niat-dilafadzkan” Dari dua-kata terakhir inilah ‘niat dilafadzkan’ sumber persoalannya. Tentulah pelatih itu merasa aman dan nyaman mengucapkan dua kata tersebut. Munculnya persoalan, karena seorang pelatih lain yang kritis, mendadak menyampaikan kritiknya. Kritiknya yaitu : Pak, sebenarnya arti dari kata-kata ‘niat dilafadzkan’ itu tidak lain ya ‘nawaitu’ Jadi kalau orang berkata niat-dilafadzkan itu artinya tidak lain ya nawaitu (aku berniat). (3)- Kemudian ahlul-adli, itu menengahi dengan katanya : “Sesuatu kata yang ternyata sudah menjadi istilah umum, maka kata itu jangan lagi diberi pemaknaan ke arti-kata. Jangan ada orang memberi makna terhadap kalimat ‘Dia sudah di atas bus’ dengan arti, bus-nya disini dan orang ada di atasnya (di atas bus itu). Karena kata-kata ‘di atas bus’ itu sudah menjadi istilah (terminology), yang artinya sudah umum difahami, yaitu dia sudah naik bus. Jangan lagi diartikan secara semantik (arti-kata). Yaitu bahwa kata ‘dia di atas bus’ berarti busnya di bawah sedang orangnya di atas (ini namanya arti-kata).  Bahwa kata-kata itu tidak selalu harus diberi makna ‘semantik’ bisa juga ‘term ’.(4)- Bahwa makna kata-kata ‘niat dilafadzkan’ dalam bahasa Indonesia, yaitu : Bahwa niat itu diucapkan, tidak cukup di dalam bathin. Atau kalau di bahasa Arabkan, bahwa niat itu dilafadzkan. Jadi ‘diucapkan’ itu sama artinya dengan ‘dilafadzkan’ itu identik. Contoh lain: Qur’an itu lafdzan dan ma’nan adalah dari Allah SWT. ini bisa diartikan, bahwa Qur’an itu secara ucapan/perkataan dan makna adalah dari Allah SWT. Sudah jelas kiranya, bahwa melafadzkan Qur’an berarti mengucapkan atau membaca secara lisan terhadap Qur’an. Contoh lain lagi : Begitu pula ‘melafadzkan-niat’ artinya cukup jelas, yaitu mengucapkan atau memperkatakan secara lisan atas niat yang dalam hati. Jangan bahkan ragu, melafadzkan niat, itu tidak lain adalah mengucapkan (lisan) niat. (5)- Jangan malahan dibingungkan untuk mengganti kata ‘melafadzkan’ yang artinya ‘mengucapkan’ itu dengan kata-kata lainnya yang kurang pas. Bahkan saking bingung- nya orang menggantinya dengan kata ‘menjatuhkan’. Dus kata-kata ‘melafadzkan-niat’ diganti dengan ‘menjatuhkan-niat’. Ini dikawatirkan hal ini akan difahami orang secara semantik pula, yaitu niat-dijatuhkan dari atas ke bawah, sehingga akan menjadi babak-belur jadinya. Diingatkan, agar hendaknya orang lebih luwes dalam bersikap ‘akulah yang benar’ Bahwa diluar individu kita ternyata masih ada yang lainnya ‘kebersamaan’. (HM ASRORI MA'RUF).


 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host